konon, ada seorang anak yang mengalami masalah tentang menahan diri dari emosi kemarahan dan suka melampiaskannya dengan brutal. hal tersebut dikonsultasikan dengan ayahnya. ayah tersenyum dan hanya memberi sekantung yang penuh dengan paku. anak tresebut keheranan. lalu kemudian ayahnya berkata "nak. apabila kamu berada dalam keadaan marah atau emosi yang lain, lampiaskanlah saja pada pada tembok halaman belakang rumah kita. jika kau sedang marah, kau harus memaku sebanyak mungkin dan kamu hanya bisa berhenti memaku apabila sudah reda emosimu,".
saran tersebut kemudian dipatuhi oleh anak itu. hari pertama dia marah pada sesuatu atau seseorang, dia mulai memaku tembok rumahnya sejumlah 49 paku. pada hari kedua, berkurang menjadi 36 paku. begitu seterusnya sampai berminggu-minggu dia mulai menyadari bahwa menahan emosi lebih gampang daripada harus memaku tembok. pengendalian diri mulai terbentuk pada anak itu, hingga suatu hari dia tidak perlu memaku tembok lagi.
hal tersebut dilaporkan pada ayahnya dan ayahnya berkata "nah, sekarang setiap kali kau mampu bersabar manahan emosimu, cabutlah 1 paku di tembok itu". hal itu kemudian dipatuhi oleh anak itu hingga selang bbrapa minggu kemudian seluruh paku yang ada sudah tercopot. keadaan ini dilaporkan kembali kepada ayahnya.
ayahnya lalu membawa anak tersebut untuk melihat tembok itu dan kemudian berkata "lihatlah nak. lubang bekas paku di tembok. sangat merusak keindahan. kamu memang berhasil mencabut seluruh paku tapi tembok ini akan tetap membekas lubangnya tidak seperti sediakala. begitulah yang terjadi apabila kamu melampiaskan emosi pada orang lain. hatinya akan remuk, berlubang dan meskipun kemudian kamu meminta maaf, tidak akan membuat hati pulih seperti sediakala".
kau bisa menusukkan pisau di punggung orang lain kemudian mencabutnya kembali. tetapi akan meninggalkan luka. tak peduli berapa kali kau meminta maaf, luka karena ucapan akan meninggalkan bekas sama seperti luka fisik.
mulutmu harimaumu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar