1 Mei 1963 ditandai dengan pengibaran bendera Merah Putih secara resmi di Tanah Papua.
Peristiwa 1 Mei 1963, ketika Perserikan Bangsa-Bangsa (PBB) menyerahkan pemerintahan sementara Papua (Irian Barat) kepada pemerintahan Indonesia, bukanlah perkara mudah, karena melalui perdebatan, diplomasi, dan konfrontasi dengan Belanda.
Namun, mencermati notulen sidang BPUPKI, sebenarnya status Papua menjadi satu materi krusial yang dibahas para pendiri bangsa. Hasilnya, Papua termasuk bagian dari Indonesia, sebab wilayah Indonesia termasuk bekas tanah Hindia Belanda.
Jadi, sejak Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, Tanah Papua menjadi titik sengketa Indonesia dan Belanda.
Untuk itu, persoalan Papua merupakan satu materi krusial perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) antara Indonesia dan Belanda. Masalah Papua tidak bisa disepakati sehingga harus dirundingkan kembali. Jadi, pengakuan kedaulatan sesuai KMB tahun 1949 masih menyisakan persoalan Papua.
Namun, Presiden Soekarno membatalkan sepihak perjanjian KMB dan terus melakukan langkah nyata untuk memasukkan Papua dalam NKRI. Bahkan, Bung Karno secara tegas membentuk Provinsi Irian Barat, meski masih ber-ibu kota di Maluku.
Sikap Indonesia sebenarnya tidak lepas dari sikap Belanda yang tidak memenuhi kesepakatan KMB, bahwa persoalan Papua harus dibahas satu tahun setelah KMB pada 1950. Namun, hal itu tidak pernah terlaksana.
Langkah politik Bung Karno juga disikapi penguasa Belanda di Papua untuk memfasilitasi pembentukan negara Papua, yang dideklarasikan pada 1 Desember 1961, lengkap dengan atribut lagu, bendera, dan partai politik.
Kondisi seperti itu semakin menghangatkan hubungan Indonesia-Belanda. Apalagi, Bung Karno mendeklarasikan Tiga Komando Rakyat (Trikora) pada 19 Desember 1961 di Yogyakarta, yang nyata-nyata menolak langkah politik Belanda di Tanah Papua.
Mengingat situasi yang semakin panas itu, Amerika Serikat yang takut Uni Soviet semakin campur tangan dalam masalah Papua bagian barat, mendesak Belanda mengadakan perundingan dengan Indonesia. Delegasi Indonesia dipimpin Adam Malik dan Belanda oleh Dr Van Roijen, dengan E Bunker dari Amerika Serikat menjadi perantaranya. (lihat laman Wikipedia)
Berdasarkan perjanjian tanggal 15 Agustus 1962 di New York, pada Oktober 1962 bendera PBB, melalui kuasa pemerintahan sementara di Irian Barat, United Nation Temporary Executive Authority/UNTEA) berkibar bersama Bendera Belanda.
Setelah melakansakan pemerintahan sementara sekitar delapan bulan, tepat pada 30 April 1963, UNTEA mengakhiri masa pemerintahan, dan pemerintahan Irian barat diserahkan kepada Indonesia, sehingga pada 1 Mei 1963 bendera Merah Putih resmi berkibar di Kota Baru melalui upacara penyerahan pemerintahan Irian Barat. Tidak lama setelah itu, Presiden Soekarno memilih EJ Bonay sebagai Gubernur Irian Barat.
Praktis, sejak 1 Mei 1963 hingga 1 Mei 2013, Merah Putih telah berkibar selama 50 tahun di Tanah Papua. Namun, sejatinya pada 19 Mei 1962 Merah Putih sudah berkibar di Kampung Wersar, Distrik Teminabuan, Kabupaten Sorong Selatan. Kampung ini merupakan tempat pendaratan pertama puluhan pasukan penerjun dalam operasi Trikora. Kini tugu Trikora bisa ditemukan di Teminabuan.
Presiden Soekarno menjelaskan, pada 4 Mei 1963 ketika berpidato di Kota Baru (Jayapura), masuknya Irian barat ke dalam NKRI bukan perjuangan orang di luar Papua, tapi karena perjuangan rakyat Papua.
“Jikalau Irian Barat sejak tanggal 1 Mei yang lalu, tiga hari yang lalu telah masuk ke dalam wilayah Republik, itu adalah hasil daripada perjuangan rakyat. Terutama sekali hasil daripada rakyat Indonesia di Irian Barat.”
Kini, dalam usia 50 tahun, seharusnya Papua jauh lebih baik. Hanya saja, harapan untuk lebih sejahtera belum menjadi kenyataan. Padahal, sangat jelas dalam sejumlah pidato Bung Karno, pilihan untuk melawan Belanda agar bangsa ini lebih sejahtera. Namun, bagi sebagian anak bangsa, ternyata belum merdeka dari rasa takut, kemiskinan, dan keterbelakangan.
Sangat ironis, karena perjuangan dari para pendahulu yang tak kenal lelah agar masyarakat sejahtera, hanya menjadi impian kosong di tengah limpahan kekayaan. Jika Papua tidak ditangani dengan baik, bukan mustahil aspirasi untuk merdeka akan menjadi semakin kuat, karena tidak adanya kenyamanan untuk hidup seperti halnya masyarakat daerah lain.
Peristiwa 1 Mei 1963, ketika Perserikan Bangsa-Bangsa (PBB) menyerahkan pemerintahan sementara Papua (Irian Barat) kepada pemerintahan Indonesia, bukanlah perkara mudah, karena melalui perdebatan, diplomasi, dan konfrontasi dengan Belanda.
Namun, mencermati notulen sidang BPUPKI, sebenarnya status Papua menjadi satu materi krusial yang dibahas para pendiri bangsa. Hasilnya, Papua termasuk bagian dari Indonesia, sebab wilayah Indonesia termasuk bekas tanah Hindia Belanda.
Jadi, sejak Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, Tanah Papua menjadi titik sengketa Indonesia dan Belanda.
Untuk itu, persoalan Papua merupakan satu materi krusial perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) antara Indonesia dan Belanda. Masalah Papua tidak bisa disepakati sehingga harus dirundingkan kembali. Jadi, pengakuan kedaulatan sesuai KMB tahun 1949 masih menyisakan persoalan Papua.
Namun, Presiden Soekarno membatalkan sepihak perjanjian KMB dan terus melakukan langkah nyata untuk memasukkan Papua dalam NKRI. Bahkan, Bung Karno secara tegas membentuk Provinsi Irian Barat, meski masih ber-ibu kota di Maluku.
Sikap Indonesia sebenarnya tidak lepas dari sikap Belanda yang tidak memenuhi kesepakatan KMB, bahwa persoalan Papua harus dibahas satu tahun setelah KMB pada 1950. Namun, hal itu tidak pernah terlaksana.
Langkah politik Bung Karno juga disikapi penguasa Belanda di Papua untuk memfasilitasi pembentukan negara Papua, yang dideklarasikan pada 1 Desember 1961, lengkap dengan atribut lagu, bendera, dan partai politik.
Kondisi seperti itu semakin menghangatkan hubungan Indonesia-Belanda. Apalagi, Bung Karno mendeklarasikan Tiga Komando Rakyat (Trikora) pada 19 Desember 1961 di Yogyakarta, yang nyata-nyata menolak langkah politik Belanda di Tanah Papua.
Mengingat situasi yang semakin panas itu, Amerika Serikat yang takut Uni Soviet semakin campur tangan dalam masalah Papua bagian barat, mendesak Belanda mengadakan perundingan dengan Indonesia. Delegasi Indonesia dipimpin Adam Malik dan Belanda oleh Dr Van Roijen, dengan E Bunker dari Amerika Serikat menjadi perantaranya. (lihat laman Wikipedia)
Berdasarkan perjanjian tanggal 15 Agustus 1962 di New York, pada Oktober 1962 bendera PBB, melalui kuasa pemerintahan sementara di Irian Barat, United Nation Temporary Executive Authority/UNTEA) berkibar bersama Bendera Belanda.
Setelah melakansakan pemerintahan sementara sekitar delapan bulan, tepat pada 30 April 1963, UNTEA mengakhiri masa pemerintahan, dan pemerintahan Irian barat diserahkan kepada Indonesia, sehingga pada 1 Mei 1963 bendera Merah Putih resmi berkibar di Kota Baru melalui upacara penyerahan pemerintahan Irian Barat. Tidak lama setelah itu, Presiden Soekarno memilih EJ Bonay sebagai Gubernur Irian Barat.
Praktis, sejak 1 Mei 1963 hingga 1 Mei 2013, Merah Putih telah berkibar selama 50 tahun di Tanah Papua. Namun, sejatinya pada 19 Mei 1962 Merah Putih sudah berkibar di Kampung Wersar, Distrik Teminabuan, Kabupaten Sorong Selatan. Kampung ini merupakan tempat pendaratan pertama puluhan pasukan penerjun dalam operasi Trikora. Kini tugu Trikora bisa ditemukan di Teminabuan.
Presiden Soekarno menjelaskan, pada 4 Mei 1963 ketika berpidato di Kota Baru (Jayapura), masuknya Irian barat ke dalam NKRI bukan perjuangan orang di luar Papua, tapi karena perjuangan rakyat Papua.
“Jikalau Irian Barat sejak tanggal 1 Mei yang lalu, tiga hari yang lalu telah masuk ke dalam wilayah Republik, itu adalah hasil daripada perjuangan rakyat. Terutama sekali hasil daripada rakyat Indonesia di Irian Barat.”
Kini, dalam usia 50 tahun, seharusnya Papua jauh lebih baik. Hanya saja, harapan untuk lebih sejahtera belum menjadi kenyataan. Padahal, sangat jelas dalam sejumlah pidato Bung Karno, pilihan untuk melawan Belanda agar bangsa ini lebih sejahtera. Namun, bagi sebagian anak bangsa, ternyata belum merdeka dari rasa takut, kemiskinan, dan keterbelakangan.
Sangat ironis, karena perjuangan dari para pendahulu yang tak kenal lelah agar masyarakat sejahtera, hanya menjadi impian kosong di tengah limpahan kekayaan. Jika Papua tidak ditangani dengan baik, bukan mustahil aspirasi untuk merdeka akan menjadi semakin kuat, karena tidak adanya kenyamanan untuk hidup seperti halnya masyarakat daerah lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar